LEGENDA DARA MUNING
(Cerita Rakyat Kecamatan Serawai)
Pada
zaman dahulu, hiduplah seorang perempuan yang memiliki kecantikkan yang sungguh
menawan. Namanya adalah Dara Muning, Dara Muning ini memiliki seorang anak yang
bernama Bujang Munang. Mereka berdua hidup di sebuah desa di tengah hutan. Kehidupan
mereka berdua sederhana saja.
Hampir
setiap hari Bujang Munang pergi berburu ke dalam hutan dan pergi memancing ke
sungai untuk mencari hewan yang bisa di jadikan lauk. Hari-hari mereka berdua
lewati layaknya ibu dan anak pada umumnya.
Hingga
pada suatu hari ketika Dara Muning sedang memasak nasi di dapur, Bujang Munang
masuk ke dalam rumah mencari Dara Muning. Bujang Munang Munang memanggil ibunya
sambil berlarian hingga ia menabrak periuk nasi yang sedang Dara Muning gunakan
untuk memasak nasi.
Melihat
kejadian itu Dara Muning sangat marah kepada Bujang Munang, di ambilnya sendok
nasi yang ada di dekat periuk yang terjatuh tadi lalu di pukulnya kepala Bujang
Munang hingga berdarah. “Kenapa ibu memukul ku?” tanya Bujang Munang keheranan.
“Pergi kamu dari rumah ini, jangan kau tampakkan wajah mu di hadapan ku lagi”
jawab Dara Muning dengan penuh emosi. “Ibu aku minta maaf, tolong maafkan aku”
pinta Bujang Munang dengan rasa bersalah dan penuh harap. “Tidak, pergi kamu
dari sini. Kamu anak yang tidak berguna” jawab Dara Muning dengan emosinya dan
dengan tidak menatap muka Bujang Munang.
Mendengar
jawaban ibunya tersebut, Bujang Munang pun pergi meninggalkan rumah dengan rasa
bersalah dan kesedihan. Hari demi hari berlalu Dara Muning mulai merasa
kesepian tanpa adanya Bujang Munang. Dara Muning pun menyesali perbuatan yang
telah ia lakukan kepada anak satu-satunya yang ia miliki. “Kenapa aku tidak
bisa mengontrol diri, anakku hanya melakukan kesalahan kecil saja tetapi aku
tidak memaafkannya” ucap Dara Muning di dalam hatinya dengan penuh penyesalan.
Waktu
terus berjalan, tidak terasa sudah belasan tahun Bujang Munang pergi
meninggalkan kampung halamannya. Seiring berjalannnya waktu tersebut juga, Dara
Muning sudah bisa melupakan kepergian anaknya dengan mulai terbiasa hidup
sendiri dan membaur dengan masyarakat yang lain.
Pada
suatu hari Bujang Munang kembali ke kampung halamannya, tetapi kampung
halamannya sudah jauh berbeda dari pada saat ia meninggalkannya dulu. Bujang
Munang berfikir bahwa ibunya sudah meninggal dunia karena ia yakin ibunya pasti
sudah tua selama ia pergi. Ketika sedang berada di daerah perumahan warga,
Bujang Munang terkesima (terpukau) dengan kecantikkan salah seorang perempuan
yang ada di sebuah rumah.
Bujang
Munang pun berkenalan dengan perempuan tersebut, setelah berkenalan di
ketahuilah bahwa nama perempuan tersebut adalah Dara Muning (yang sebenarnya
adalah ibu kandungnya sendiri). Bujang Munang jatuh cinta kepada Dara Muning
dan begitu pula Dara Muning juga jatuh cinta kepada Bujang Munang. Hari demi
hari berlalu Bujang Munang dan Dara Muning pun selalu bersama-sama, melewati
hari-hari dengan penuh bahagia. Meskipun sering bersama-sama, tetapi tidak ada
satupun diantara mereka berdua yang tahu bahwa mereka berdua adalah ibu dan
anak.
Merasa
sudah saling sayang dan saling cinta, Bujang Munang dan Dara Muning pun memutuskan untuk menikah. Pada
suatu hari ketika Bujang Munang dan Dara Muning sedang bersama, Bujang Munang baring
di pangkuan Dara Muning. Dara Muning membelai-belai rambut Bujang Munang, Dara
Muning melihat ada bekas luka di kepala Bujang Munang.
“Kenapa
ada bekas luka di kepala mu Bujang Munang?” tanya Dara Munig keheranan. “Oh itu
bekas luka akibat pukulan ibuku dulu menggunakan sendok nasi” jawab Bujang
Munang. Mendengar jawaban Bujang Munang, Dara Muning terkejut karena hal
tersebut pernah ia lakukan kepada anaknya belasan tahun yang lalu. “Kenapa kamu
bisa sampai di pukul oleh ibumu dan kapan kejadian itu terjadi?” tanya Dara
Muning lagi dan memastikan bahwa Bujang Munang itu adalah anaknya. “Belasan
tahun lalu yang lalu ibuku sangat marah padaku hari itu, karena aku menumpahkan
periuk nasinya dan ia juga mengusirku dari rumah” jawab Bujang Munang jelas.
Mendengar
jawaban tersebut, Dara Muning yakin bahwa Bujang Munang tersebut adalah
anaknya. “Bujang Munang anakku” ucap Dara Muning sambil memeluk Bujang Munang.
“Apa maksudmu?” tanya Bujang Munang keheranan. “Kamu adalah anakku yang ku usir
belasan tahun yang lalu, karena menumpahkan periuk nasiku. Aku ingat sekali
dengan bekas luka di kepala mu ini akibat dari sendok nasiku” jawab Dara Muning
dengan tegas. “Tidak Mungkin kau ibuku, ibuku sudah lama meninggal saat aku
pergi dulu” ucap Bujang Munang lagi.
Bujang
Munang tetap tidak mau percaya bahwa Dara Muning itu adalah ibunya, dan tetap
inigin menikahi Dara Muning. Akhirnya Dara Muning pun dengan terpaksa menikah,
namun pada saat hari pernikahan mereka cuaca sangat tidak bersahabat, petir dan
kilat terus menyambar di langit. Hujan deras turun membasahi kampung itu, badai
pun tak dapat di hindari. Alam dan Tuhan tidak merestui pernikahan mereka,
akhirnya mereka berdua di kutuk menjadi batu. Batu itu hingga kini masih
berdiri kokoh di Dearah Serawai dan dikenal orang dengan nama batu Dara Muning.